Selasa, 10 Desember 2013

Sistem Universal Health Coverage Terbaik Adalah Yang Paling Sesuai Dengan Kondisi Negara Kita

Kegiatan Exchange and Study Program on "Universal Health Coverage and Hospital Accreditation Program Realization" memasuki hari pertama (25 November 2013). Paparan mengenai gambaran pelaksanaan Universal Health Coverage (UHC) di Thailand dipilih sebagai materi pembuka pada hari pertama ini. Selain itu, Dr. Suwit Wibulpolprasert selaku pembicara juga menyampaikan paparan mengenai layanan kesehatan yang bermutu dalam skema UHC di Thailand.
"Universal (health, red.) coverage tidak hanya menyentuh satu aspek. Tidak hanya seperti melakukan apindektomi pada apendisitis," tegas Dr. Suwit memulai paparannya. UHC perlu didukung juga dengan akses, dana dan kualitas. UHC juga harus cocok dengan budaya masyarakat dalam sebuah wilayah cakupan. Dalam pelaksanaan UHC, diakui Dr. Suwit, tidak akan mulus-mulus saja. Selalu ada tantangan terutama dalam aspek geografi sumber dana dan kualitas layanan.
Dalam implementasi UHC, selain dibutuhkan pengembangan infrasturktur, dibutuhkan pula orang-orang yang bersedia bekerja sepenuh hati untuk memberi pelayanan yang berkualitas. Orang-orang tersebut perlu dibangun motivasi dan passionnya untuk memberi pelayanan terbaik bagi masyarakat. Di Thailand, orang-orang semacam ini dapat ditemui misalnya pada health center di area pedesaan. Health center adalah fasilitas kesehatan setara balai-balai pengobatan di Indonesia. Orang-orang ini dapat berupa tenaga kesehatan maupun non kesehatan yang dilatih untuk memberi pelayanan kesehatan bagi masyarakat desa.
Pada tahun 2010, data menunjukkan bahwa kunjungan ke health center di Thailand mencapai 54%. Data ini lebih tinggi dibanding pada tahun 2000 yang hanya mencapai 46,1%. "Ini dapat terjadi karena kita berinvestasi besar untuk pengembangan infrastruktur health center," terang Dr. Suwit. Kunjungan masyarakat Thailand yang semakin meningkat ke health center, mengindikasikan bahwa aspek kemudahan akses layanan kesehatan dalam UHC semakin tercapai. Selain itu, pemerintah Thailand juga mempersiapkan kader-kader tenaga kesehatan dengan membuka lowongan tenaga kesehatan untuk bekerja di pedesaan dan menyekolahkan putra daerah di fakultas-fakultas kesehatan. Nantinya, putra daerah ini diminta untuk mengabdi sebagai tenaga kesehatan di daerah asalnya dan pemerintah menyediakan insentif yang memadai sebagai bentuk dukungan.
Di Thailand, rata-rata health center di desa memiliki 2-6 perawat yang melakukan task shifting. Para perawat ini memiliki tanggung jawab untuk melayani 2000-5000 populasi. Di daerah pedesaan juga terdapat rural comunity hospital atau setara Puskesmas di Indonesia. Rural comunity hospital ini memiliki 2-8 dokter yang mengurusi 30-100.000 populasi. Selain tenaga kesehatan, di health center ini terdapat pula tenaga non kesehatan. Tenaga-tenaga non kesehatan ini umumnya membantu untuk aspek promosi kesehatan.
Dalam survey yang dilakukan pemerintah terkait kepuasan penerima manfaat (pasien, red.) dan provider (tenaga kesehatan, red.) UHC dalam periode 2003-2012, diketahui bahwa kepuasan penerima manfaat UHC semakin meningkat. Sedikit berbeda dengan tingkat kepuasan provider yang cukup fluktuatif karena jasa mereka dihargai sebatas plafon pemerintah. "Tapi ini dapat diakali dengan pemberian insentif yang memadai dari pemerintah bagi dokter yang mau bertugas di daerah terpencil," terang pria yang menjabat sebagai Penasehat Senior dalam Kontrol Penyakit di Kementerian Kesehatan Masyarakat Thailand ini.
Sebagai penutup paparan, pria bertubuh jangkung ini memberikan sedikit masukan bagi negara-negara yang baru akan mengimplementasikan program UHC. "Untuk negara yang baru memulai UHC, kita perlu menetapkan target yang akan diraih. Tidak hanya uangnya tapi juga sistemnya dan bekerja keras untuk meraih itu semua," jelasnya. Dalam meraih target ini perlu ada kerja sama dari berbagai pihak atau global advocacy movement. Selain itu, perlu adanya program capacity building terkait UHC karena tidak ada satu sistem UHC terbaik. Sistem terbaik adalah yang paling sesuai dengan kondisi negara kita. Terakhir, perlu juga adanya gabungan dari sistem dan sumber pembiayaan yang ada.

Kamis, 28 November 2013

Kini Legal Mantri Beri Tindakan Medis, Uji Materi UU Kesehatan Dikabulkan

THE NEX Sang Pahlawan Mantri
YanG AKan Memperjungkan UUK Mereka Adalah Kita Semua Perawat INdonesia

Apakah Anda masih ingat kasus dimana seorang mantri di Kalimantan Timur dipidana karena memberi pertolongan kepada pasien? Nama mantri itu Misran. Tidak lama setelah itu, Irfan Wahyudi, (36), mantri di desa Trebungan, Mangaran, Situbondo, Jawa Timur juga diciduk polisi karena persoalan serupa pada 8 Desember 2010.
Kini, Misran dan Irfan dan perawat (mantri) di seluruh Indonesia bisa melakukan tindakan medis selayaknya dokter dan apoteker dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien tanpa harus takut dengan sanksi pidana.

Hal itu dimungkinkan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi yang diajukan Misran bersama rekan-rekannya terhadap Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang 36/2009 tentang Kesehatan yang menjadi acuan pemidanaan.

Putusan dengan nomor 12/PUU-VIII/2010 ini dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi dengan dihadiri oleh Pemohon, yakni sembilan Pemohon yang merupakan tenaga kesehatan yang berasal dari Provinsi Kalimantan Timur.

“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063) sepanjang kalimat, “… harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa tenaga kesehatan tersebut adalah tenaga kefarmasian, dan dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, antara lain, dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa dan diperlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien,” urai Mahfud membacakan amar putusan pada Senin (27/6/2011) seperti dikutip dari situs mahkamahkonstitusi.go.id.

Dalam salah satu penjelasannya, Hakim MK Hamdan Zoelva menjelaskan, selain penempatan norma yang tidak tepat dalam pasal itu, ketentuan pengecualian di lapangan sebagaimana didalilkan para pemohon menimbulkan keadaan dilematis. Di satu sisi, petugas kesehatan dengan kewenangan yang sangat terbatas harus menyelamatkan pasien dalam keadaan darurat, sedangkan di sisi lain untuk memberikan obat atau tindakan medis yang lain ia dibayangi oleh ketakutan terhadap ancaman pidana bila ia melakukannya.

“Hal yang terakhir ini bahkan telah dialami oleh Pemohon. Sementara itu, peraturan perundang-undangan apapun dibuat oleh negara adalah untuk manusia, untuk hidup dan kesejahteraannya. Adanya ketentuan pengecualian yang sangat terbatas demikian, menurut Mahkamah, tidak memberikan perlindungan kepada pasien dalam keadaan darurat, dan tidak pula memberikan perlindungan kepada tenaga kesehatan. Dengan demikian maka Mahkamah dapat membenarkan dalil para Pemohon tersebut,” papar Hamdan.

Misran, seorang mantri desa yang menolong warga Kuala Samboja, Kalimantan Timur, oleh Hakim PN Tenggarong, pada 19 November 2009, divonis dinilai tidak berwenang memberi pertolongan layaknya dokter. Misran dituduh melanggar UU 36/ 2009 tentang Kesehatan pasal 82 (1) huruf D jo Pasal 63 (1) UU No 32/1992 tentang Kesehatan. Misran di hukum 3 bulan penjara dengan denda Rp 2 juta rupiah subsider 1 bulan.
Putusan itu juga dikuatkan PT Samarinda pada tingkat banding. Karena kuatir dikriminalisasi terus, Misran dan rekan-rekannya, 12 mantri, mengajukan uji materi (judicial review) ke MK tahun lalu.

Memang putusan hukum terhadap Misran tidak akan terpengaruh oleh putusan MK ini karena tidak berlaku surut. Namun, kini Misran, dengan hasil gugatan itu, telah menyelamatkan banyak temannya dari kriminalisasi dan tentu saja, menyelamatkan banyak jiwa yang secara nyata tidak terjangkau oleh perlindungan kesehatan melalui ketersediaan dokter oleh pemerintah, terutama di daerah terpencil.

“Saya senang atas keputusan MK ini. Ini bukan untuk saya, tapi untuk seluruh perawat di seluruh Indonesia,” ujar Misran usai menghadiri pembacaan putusan tersebut di Kantor MK.

Kamis, 21 November 2013

Hidup Tanpa Memiliki Denyut Nadi ?

Dahulu, cangkok jantung menjadi satu-satunya jalan untuk menyelamatkan pasien gagal jantung stadium akhir. Namun karena donor sulit dicari, maka dicarilah alternatifnya. Pasien tetap bisa hidup, tapi tidak memiliki denyut nadi.

Tanpa harus dicangkok, pasien gagal jantung kini bisa bertahan hidup dengan bantuan alat bantu yang disebut Left Ventricular Assist Device(LVAD). Alat yang ditanam di jantung dan digerakkan dengan tenaga baterai ini membantu fungsi jantung untuk memompa darah.

Berbeda dengan kerja jantung asli, alat ini bekerja memompa jantung secara kontinyu sehingga nadi tidak tampak berdenyut. Pasien pun semakin tampak seperti robot, karena di ke mana pun ia pergi akan selalu membawa seperangkat baterai agar jantungnya bisa tetap bekerja.

"Jantung normal bekerja seperti ini, bup.. bup.. bup.. Jadi ada denyutnya. Jantung mekanis ini bekerja seperti mesin turbin, seperti jet. Continuous, sehingga tidak punya denyut nadi," Dr Kelvin Loh, Chief Executive Officer Mount Elizabeth Hospital di sela seminar ilmiah kedokteran di Mandarin Orchard, Singapura, seperti ditulis Senin (12/11/2013).

Pemasangan alat ini awalnya hanya solusi sementara, tetapi kini sudah bisa disebut destination therapy. Artinya, alat ini bisa dipakai selama mungkin selama baterainya masih berfungsi. Pasien yang menggunakan alat bantu ini tetap bisa hidup normal, meski ke mana-mana harus membawa baterai dan rajin mengisi ulang agar jantungnya tetap bisa memompa darah.

Operasi "Manusia Bionik



Pada 26 Agustus 1994, alat pacu jantung untuk kali pertama ditransplantasikan ke manusia. Pasien yang saat itu berusia 62 tahun tersebut menjadi manusia bionik pertama di dunia setelah alat pacu jantung bertenaga baterai dicangkokkan ke dalam tubuhnya. Operasi perintis ini dilakukan di rumah sakit terkemuka, Papworth Hospital di Cambridgeshire, Inggris.

Menurut laman stasiun televisi BBC, pasien bernama Arthur Cornhill itu hanya memiliki beberapa bulan lagi untuk hidup saat dokter menawarkan kesempatan untuk menjadi obyek percobaan untuk mencoba sebuah alat dari plastik dan titanium baru bernama Left Ventricular Assist Device (LVAD).
Alat yang diproduksi Amerika itu tidak berfungsi untuk menggantikan jantung manusia. Fungsi utamanya adalah sebagai pompa elektrik yang bertugas memompa ruang jantung, yakni bilik jantung sebelah kiri.

Dalam operasi empat jam oleh satu tim dengan 11 anggota dan dipimpin oleh Sir Terence English dan John Wallwork, LVAD dipasang di dinding abdomen pasien dan tersambung ke jantungnya. Pasien akan mengenakan ikat pinggang dengan sepaket baterai yang menjadi sumber tenaga alat pompa.

LVAD yang bernilai 40.000 pound sterling ini berhasil membantu mempertahankan hidup sekitar 200 pasien hingga tersedia donor jantung. Namun, percobaan awal yang berhasil dilakukan di Papworth akan memberi pandangan lain bagi ahli bedah jantung. Dokter bisa menilai apalah alat tersebut bisa berperan dalam proses terapi jangka panjang bagi pasien gagal jantung.

Sayangnya, sembilan bulan setelah menjadi penerima pertama cangkok alat pacu jantung, Cornhill wafat setelah menderita gagal ginjal. Namun, penyempurnaan alat itu terus berlangsung.

Senin, 21 Oktober 2013

ALUR DAN BIAYA PENGURUSAN STR KE MTKI DAN BPPSDM

sesuai dengan kebijakan terbaru tentang pengajuan dan STR dan biayanya, PPNI meneruskan kebijakan mengenai STR tersebut dengan penjelasan sebagai berikut :

1. Biaya Pengurusan STR yang dibayarkan ke BPPSDM.
2. Alur Pengurusan STR terbaru

Alur pengurusan STR sesuai dengan kebijakan MTKI terbaru adalah sebagai berikut :
1) Pengajuan berkas persyaratan STR ke PPNI  Provinsi
2) PPNI Provinsi menyerahkan berkas persyaratan STR ke MTKP
3) MTKP menginput data dan menverfikasi
4) MTKP mengirim berupa softcopy data dan pas foto saja ke MTKI.
5) MTKI melakukan verifikasi data ulang (yang berupa softocopy) , setelah data diverikasi softcopy data siap dicetak, ditempel foto, dan disahkan lalu dibuat legalisirnya.
5) STR dan dikirim ke MTKP dan STR diambil di MTKP.

3. Syarat-syarat pengajuan STR
a) Fotocopy ijazah yang dilegalisir cap basah : sekolah perawat kesehatan/ DIII Keperawatan/ DIV keperawatan/ S1 keperawatan + profesi ners / S2 Keperawatan + ners spesialis
b) Pas Foto 4x6 dengan background merah

Untuk Pengajuan STR mulai dari Juni 2013 terkena PNBP sesuai PP.21 . Setiap orang yang mengurus membayar Rp. 100.000 dan ditransfer ke rekening Pustanserdik. bila masih belum jelas, silahkan  hubungi MTKI terlebih dahulu untuk prosedur lebih jelas dan lengkap (no telpon ada di bawah)

Khusus untuk pengajuan STR Luar Negeri terbagi menjadi dua:

1) Apabila yang bersangkutan sedang bekerja di Luar negeri, maka pengurusan STR sbb:
a) Fotocopy ijazah yang dilegalisir cap basah : sekolah perawat kesehatan/ DIII Keperawatan/ DIV keperawatan/ S1 keperawatan + profesi ners / S2 Keperawatan + ners spesialis
b) Pas Foto 4x6 dengan background merah
c) Fotocopy passport
d) Surat yang menyatakan bahwa Bapak sedang bekerja di Luar negeri dr instansi setempat
e) Surat rekomendasi dari Pusrengun BPPSDM Kesehatan Kemenkes RI (mohon kirim berkas terlebih dahulu ke Pusrengun) dengan alamat: Jalan. Hang Jebat III Blok F3 Kebayoran Baru Jakarta Selatan.
2) Apabila yang bersangkutan akan bekerja di luar negeri dan tidak butuh segera STR mohon diajukan ke MTKP setempat. Jika STR dibutuhkan mendesak maka diperbolehkan mengajukan ke MTKI dengan persyaratan dan prosedur sesuai dengan nomer 1 di atas.

untuk hal-hal yang tidak jelas, silahkan ditanyakan langsung ke sekretariat MTKI dengan alamat :
Jalan Hang Jebat III Blok F3 Kebayoran Baru Jakarta Selatan
No. Tlp: 021-72800743

DPR Optimis,RUU Keperawatan Akan Selesai 2013



RUU Keperawatan berusaha diselesaikan tahun 2013 ini. Di tahun politik, memang, banyak pembahasan RUU yang tersendat. Tapi, khusus RUU Keperawatan ini akan mendapat prioritas dari DPR RI. 
Dan hasil keputusan rapat Badan Musyawarah (BAMUS) DPR, pembahasan  RUU ini diserahkan sepenuhnya kepada Komisi IX. Demikian disampaikan Wakil Ketua DPR RI Pramono Anung saat menerima delegasi Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) di ruang rapat pimpinan, Selasa (21/5). “Hari ini surat akan kami kirim ke Komisi IX,” tandas Pramono kepada para delegasi PPNI. Surat tersebut nantinya mengamanatkan agar segera memulai pembahasannya di Komisi IX.
Bahkan, Pramono mengingatkan, bila ada anggota fraksi di Komisi IX yang menghalang-halangi pembahasan, agar tidak dipilih lagi pada Pemilu 2014. Pernyataan Pramono ini disambut baik PPNI. Nova Riyanti Wakil Ketua Komisi IX ikut hadir mendampingi Pramono Anung. Menurutnya, Komisi IX memang menunggu surat dari pimpinan. Bila sudah turun surat itu, Komisi IX segera tancap gas membahas RUU tersebut.
Seperti diketahui, DPR tinggal memiliki masa sidang 2 kali lagi sebelum menuju Pemilu. Dan pimpinan, kata Pramono, akan memantau RUU Keperawatan ini di sisa masa sidang. Ditambahkan pula oleh Nova, idealnya RUU Keperawatan dibahas di Komisi IX, karena para anggota sudah memahami betul substansinya. Apalagi, Komisi IX pula yang mengawal RUU ini dari awal.
Sementara itu, delegasi perawat yang dipimpin Sekjen PPNI Harif Fadilah, menyatakan, pemerintah tidak serius bahas RUU Keperawatan. Di dunia hanya Indonesia dan Laos yang belum punya UU Keperawatan. Para dokter begitu mudah mendapat perlindungan hukum lewat UU. Tapi perawat masih sulit. Kementerian Kesehatan juga, kata Harif, sering mengeluarkan statemen yang menyakiti hati para perawat. Kesejahteraan perawat juga masih di bawah standar.
Melihat realitas ini, para perawat di Indonesia sepakat akan mogok kerja bila RUU Keperawatan dan kesejahteraan perawat tidak diperhatikan. Para perawat sempat mengancam mogok pada tahun-tahun sebelumnya, tapi karena masih memiliki rasa kemanusiaan, aksi mogok masal itu urung dilakukan. Mereka masih punya hati nurani, karena harus melayani kesehatan masyaraka

Minggu, 20 Oktober 2013

Uji Kompetensi oleh MTKI disaat UU Keperawatan belum Disahkan



Indonesia belum memiliki konsil keperawatan hingga sekarang. Ini adalah imbas belum disahkannya Undang-Undang Keperawatan yang hingga saat ini masih mangkrak di parlemen.Rupanya ketiadaan konsil keperawatan ini tidak menyurutkan rencana pemerintah – Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) – untuk segera menggelar uji kompetensi tingkat nasional. Sasaran uji kompetensi ini adalah para perawat yang baru lulus dari pendidikan program diploma dan sarjana keperawatan.
Tentu saja hal ini menyebabkan calon wisudawan dan wisudawati dari program diploma keperawatan dan sarjana keperawatan dibuat tidak nyenyak tidur dan kurang nafsu makan. Setiap hari hanya memikirkan uji kompetensi, cara agar lulus uji kompetensi dan sekaligus menaklukkan uji kompetensi. Padahal selepas itu mereka juga mesti bertarung untuk merebut peluang pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan mereka.
Pemerintah melalui Kemenkes RI telah membentuk Majelis Tenaga Kesehatan (MTKI) yang bertugas untuk melaksanakan uji kompetensi secara nasional tersebut. Saat ini, tugas MTKI hanya memperbaharui registrasi para perawat lama dan 23 tenaga kesehatan lain yang lain, kecuali dokter, dokter gigi dan apoteker. Baru perawat yang akan menjalani uji kompetensi yang direncanakan akan diselenggarakan pada akhir 2013 ini.

Dasar Hukum Uji Kompetensi
Pada awalnya Kemenkes RI untuk tujuan meregistrasi para perawat hanya mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 1239 tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat.  Kepmenkes ini hanya mengatur tentang tata cara registrasi dan praktik perawat untuk mendapatkan Surat Izin Perawat (SIP) dan Surat Izin Praktik Perawat (SIPP). Tanpa melalui ujian kompetensi. Kepmenkes RI hanya melakukan pendaftaran terhadap lulusan baru dan perawat lama yang telah bekerja di pusat pelayanan kesehatan.
Namun, seiring direvisinya Undang-Undang Kesehatan (UU Kesehatan), dimana UU Kesehatan No. 23 tahun 1992  dinyatakan tidak berlaku lagi dan kemudian digantikan oleh UU Kesehatan No. 36 tahun 2009. Pemerintah berasumsi bahwa ujian kompetensi perlu segera diadakan. Argumentasi yang disampaikan adalah bahwa ujian kompetensi bagi perawat senafas dengan pasal 23 ayat [5] Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan [Download], yang menyatakan bahwa peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan, dan dalam rangka pemberian izin, perlu mengatur tentang registrasi tenaga kesehatan.
Kemudian, menindaklanjuti UU Kesehatan tersebut, Kemenkes RI lalu merevisi Kepmenkes No. 1239 tahun 2001 dan kemudian menelurkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 161/MENKES/PER/I/2010 yang mengatur tentang Registrasi Tenaga Kesehatan. Permenkes ini tidak bertahan lama dan mengalami revisi kembali pada tahun berikutnya menjadi Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 1796/MENKES/PER/VIII/2011 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan [Download].
Permenkes inilah yang pada akhirnya dijadikan sebagai dasar hukum bagi pelaksanaan ujian kompetensi yang diselenggarakan oleh MTKI. Adapun organisasi profesi – dalam hal ini – Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) diberikan 3 kursi oleh MTKI untuk mewakili para perawat Indonesia dalam lembaga uji kompetensi ini. Sementara itu lembaga pendidikan keperawatan hanya dijadikan sebagai fasilitator dari pelaksanaan uji kompetensi untuk para lulusan masing-masing.
Output yang ditargetkan dari ujian kompetensi ini adalah terhasilnya perawat yang kompeten, ditandai dengan Surat Tanda Registrasi (STR) untuk menjalankan praktik keperawatan di berbagai sarana pelayanan kesehatan. Sedangkan para perawat yang hendak menjalankan praktik keperawatan mandiri, SIPP tetap dikeluarkan dengan pra-syarat memiliki STR terlebih dahulu.

Pro dan Kontra Uji Kompetensi
Rencana pemerintah untuk menggelar uji kompetensi ini masih mengundang pro dan kontra. Di satu sisi, adanya perwakilan PPNI dalam MTKI menunjukkan bahwa organisasi profesi relatif mengadopsi kebijakan tersebut. Namun, beberapa kalangan perawat Indonesia justru menolaknya.
Sebut saja Ikatan Lembaga Mahasiswa Kesehatan Indonesia (ILMIKI) dan berbagai elemen mahasiswa keperawatan lain dengan tegas menolak kehadiran ujian kompetensi ini. Aktivis perawat yang telah bekerja diberbagai sarana pelayanan kesehatan pun ada yang bersuara serupa. Alasan yang dikemukakan oleh penolak kehadiran ujian kompetensi ini adalah bahwasanya dasar hukum terhadap pelaksanaan ujian kompetensi ini lemah. Kemenkes RI hanya bersandarkan kepada Permenkes untuk menyelenggarakan ujian kompetensi yang dianggap “sakral” dikalangan perawat ini.
Selain itu, carut-marutnya managemen MTKI dalam mengurus registrasi tenaga kesehatan di Indonesia saat ini, ditengarai sebagai alasan lain penolakan elemen mahasiswa keperawatan dan aktivis perawat ini. MTKI yang saat ini ditugasi oleh Kemenkes RI hanya untuk meregistrasi 24 tenaga kesehatan yang ada di Indonesia, selain dokter, dokter gigi dan apoteker, tidak menunjukkan kinerja yang menggembirakan.
STR yang saat ini sedang diproses oleh MTKI berjalan dengan sangat lambat. Bahkan banyak diberitakan bahwa dokumen yang telah dikirimkan PPNI dari seluruh Indonesia dinyatakan tidak sampai, rusak bahkan hilang. Akibatnya para tenaga kesehatan yang sedang memproses STR tersebut harus mengirim ulang dokumen yang sama. Akibatnya fatal karena akhirnya registrasi berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Dan, kondisi ini yang sedang terjadi di MTKI saat ini sudah memasuki tahun ke-3 dan belum menunjukkan adanya perbaikan.
Civitas perawat Indonesia yang menolak ujian kompetensi ini menginginkan agar ujian kompetensi ini dilakukan oleh konsil keperawatan yang didasarkan oleh Undang-Undang Keperawatan yang saat ini sedang digodok oleh parlemen. Selain memiliki dasar hukum yang kuat, proses ujian kompetensi yang dilakukan oleh konsil keperawatan tersebut akan terjamin independensinya. Tidak seperti yang dikhawatirkan selama ini bahwa tujuan uji kompetensi hanya untuk melanggengkan hegemoni Kemenkes RI terhadap profesi perawat di Indonesia tetap kekal. Bukan untuk kemaslahatan para perawat Indonesia.
Dilain pihak, saat ini Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia (AIPNI) maupun Asosiasi Institusi Pendidikan Diploma Indonesia (AIPDI) belum menyuarakan secara terang sikap mereka terkait ujian kompetensi ini. Institusi ini tampak menunggu proses pembahasan UU Keperawatan di parlemen rampung, baru bersikap. Tetapi telah menggelar berbagai try out untuk mempersiapkan para lulusannya agar bisa mengatasi uji kompetensi ini.
Namun demikian, tampaknya MTKI sebagai kepanjangan tangan dari Kemenkes RI sudah bertekad bulat untuk tetap menggelar uji kompetensi bagi pada akhir tahun 2013 ini secara nasional. Meskipun pro dan kontra akan terus berlangsung dan akan terus menyertai pelaksanaan uji kompetensi tersebut.