Kamis, 28 November 2013

Kini Legal Mantri Beri Tindakan Medis, Uji Materi UU Kesehatan Dikabulkan

THE NEX Sang Pahlawan Mantri
YanG AKan Memperjungkan UUK Mereka Adalah Kita Semua Perawat INdonesia

Apakah Anda masih ingat kasus dimana seorang mantri di Kalimantan Timur dipidana karena memberi pertolongan kepada pasien? Nama mantri itu Misran. Tidak lama setelah itu, Irfan Wahyudi, (36), mantri di desa Trebungan, Mangaran, Situbondo, Jawa Timur juga diciduk polisi karena persoalan serupa pada 8 Desember 2010.
Kini, Misran dan Irfan dan perawat (mantri) di seluruh Indonesia bisa melakukan tindakan medis selayaknya dokter dan apoteker dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien tanpa harus takut dengan sanksi pidana.

Hal itu dimungkinkan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi yang diajukan Misran bersama rekan-rekannya terhadap Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang 36/2009 tentang Kesehatan yang menjadi acuan pemidanaan.

Putusan dengan nomor 12/PUU-VIII/2010 ini dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi dengan dihadiri oleh Pemohon, yakni sembilan Pemohon yang merupakan tenaga kesehatan yang berasal dari Provinsi Kalimantan Timur.

“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063) sepanjang kalimat, “… harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa tenaga kesehatan tersebut adalah tenaga kefarmasian, dan dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, antara lain, dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa dan diperlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien,” urai Mahfud membacakan amar putusan pada Senin (27/6/2011) seperti dikutip dari situs mahkamahkonstitusi.go.id.

Dalam salah satu penjelasannya, Hakim MK Hamdan Zoelva menjelaskan, selain penempatan norma yang tidak tepat dalam pasal itu, ketentuan pengecualian di lapangan sebagaimana didalilkan para pemohon menimbulkan keadaan dilematis. Di satu sisi, petugas kesehatan dengan kewenangan yang sangat terbatas harus menyelamatkan pasien dalam keadaan darurat, sedangkan di sisi lain untuk memberikan obat atau tindakan medis yang lain ia dibayangi oleh ketakutan terhadap ancaman pidana bila ia melakukannya.

“Hal yang terakhir ini bahkan telah dialami oleh Pemohon. Sementara itu, peraturan perundang-undangan apapun dibuat oleh negara adalah untuk manusia, untuk hidup dan kesejahteraannya. Adanya ketentuan pengecualian yang sangat terbatas demikian, menurut Mahkamah, tidak memberikan perlindungan kepada pasien dalam keadaan darurat, dan tidak pula memberikan perlindungan kepada tenaga kesehatan. Dengan demikian maka Mahkamah dapat membenarkan dalil para Pemohon tersebut,” papar Hamdan.

Misran, seorang mantri desa yang menolong warga Kuala Samboja, Kalimantan Timur, oleh Hakim PN Tenggarong, pada 19 November 2009, divonis dinilai tidak berwenang memberi pertolongan layaknya dokter. Misran dituduh melanggar UU 36/ 2009 tentang Kesehatan pasal 82 (1) huruf D jo Pasal 63 (1) UU No 32/1992 tentang Kesehatan. Misran di hukum 3 bulan penjara dengan denda Rp 2 juta rupiah subsider 1 bulan.
Putusan itu juga dikuatkan PT Samarinda pada tingkat banding. Karena kuatir dikriminalisasi terus, Misran dan rekan-rekannya, 12 mantri, mengajukan uji materi (judicial review) ke MK tahun lalu.

Memang putusan hukum terhadap Misran tidak akan terpengaruh oleh putusan MK ini karena tidak berlaku surut. Namun, kini Misran, dengan hasil gugatan itu, telah menyelamatkan banyak temannya dari kriminalisasi dan tentu saja, menyelamatkan banyak jiwa yang secara nyata tidak terjangkau oleh perlindungan kesehatan melalui ketersediaan dokter oleh pemerintah, terutama di daerah terpencil.

“Saya senang atas keputusan MK ini. Ini bukan untuk saya, tapi untuk seluruh perawat di seluruh Indonesia,” ujar Misran usai menghadiri pembacaan putusan tersebut di Kantor MK.

Kamis, 21 November 2013

Hidup Tanpa Memiliki Denyut Nadi ?

Dahulu, cangkok jantung menjadi satu-satunya jalan untuk menyelamatkan pasien gagal jantung stadium akhir. Namun karena donor sulit dicari, maka dicarilah alternatifnya. Pasien tetap bisa hidup, tapi tidak memiliki denyut nadi.

Tanpa harus dicangkok, pasien gagal jantung kini bisa bertahan hidup dengan bantuan alat bantu yang disebut Left Ventricular Assist Device(LVAD). Alat yang ditanam di jantung dan digerakkan dengan tenaga baterai ini membantu fungsi jantung untuk memompa darah.

Berbeda dengan kerja jantung asli, alat ini bekerja memompa jantung secara kontinyu sehingga nadi tidak tampak berdenyut. Pasien pun semakin tampak seperti robot, karena di ke mana pun ia pergi akan selalu membawa seperangkat baterai agar jantungnya bisa tetap bekerja.

"Jantung normal bekerja seperti ini, bup.. bup.. bup.. Jadi ada denyutnya. Jantung mekanis ini bekerja seperti mesin turbin, seperti jet. Continuous, sehingga tidak punya denyut nadi," Dr Kelvin Loh, Chief Executive Officer Mount Elizabeth Hospital di sela seminar ilmiah kedokteran di Mandarin Orchard, Singapura, seperti ditulis Senin (12/11/2013).

Pemasangan alat ini awalnya hanya solusi sementara, tetapi kini sudah bisa disebut destination therapy. Artinya, alat ini bisa dipakai selama mungkin selama baterainya masih berfungsi. Pasien yang menggunakan alat bantu ini tetap bisa hidup normal, meski ke mana-mana harus membawa baterai dan rajin mengisi ulang agar jantungnya tetap bisa memompa darah.

Operasi "Manusia Bionik



Pada 26 Agustus 1994, alat pacu jantung untuk kali pertama ditransplantasikan ke manusia. Pasien yang saat itu berusia 62 tahun tersebut menjadi manusia bionik pertama di dunia setelah alat pacu jantung bertenaga baterai dicangkokkan ke dalam tubuhnya. Operasi perintis ini dilakukan di rumah sakit terkemuka, Papworth Hospital di Cambridgeshire, Inggris.

Menurut laman stasiun televisi BBC, pasien bernama Arthur Cornhill itu hanya memiliki beberapa bulan lagi untuk hidup saat dokter menawarkan kesempatan untuk menjadi obyek percobaan untuk mencoba sebuah alat dari plastik dan titanium baru bernama Left Ventricular Assist Device (LVAD).
Alat yang diproduksi Amerika itu tidak berfungsi untuk menggantikan jantung manusia. Fungsi utamanya adalah sebagai pompa elektrik yang bertugas memompa ruang jantung, yakni bilik jantung sebelah kiri.

Dalam operasi empat jam oleh satu tim dengan 11 anggota dan dipimpin oleh Sir Terence English dan John Wallwork, LVAD dipasang di dinding abdomen pasien dan tersambung ke jantungnya. Pasien akan mengenakan ikat pinggang dengan sepaket baterai yang menjadi sumber tenaga alat pompa.

LVAD yang bernilai 40.000 pound sterling ini berhasil membantu mempertahankan hidup sekitar 200 pasien hingga tersedia donor jantung. Namun, percobaan awal yang berhasil dilakukan di Papworth akan memberi pandangan lain bagi ahli bedah jantung. Dokter bisa menilai apalah alat tersebut bisa berperan dalam proses terapi jangka panjang bagi pasien gagal jantung.

Sayangnya, sembilan bulan setelah menjadi penerima pertama cangkok alat pacu jantung, Cornhill wafat setelah menderita gagal ginjal. Namun, penyempurnaan alat itu terus berlangsung.