Indonesia belum memiliki
konsil keperawatan hingga sekarang. Ini adalah imbas belum disahkannya
Undang-Undang Keperawatan yang hingga saat ini masih mangkrak di
parlemen.Rupanya ketiadaan konsil keperawatan ini tidak menyurutkan rencana pemerintah – Kementerian Kesehatan
Republik
Indonesia (Kemenkes RI) – untuk segera menggelar uji kompetensi tingkat
nasional. Sasaran uji kompetensi ini adalah para perawat yang baru
lulus dari pendidikan
program diploma dan sarjana keperawatan.
Tentu saja hal ini menyebabkan calon wisudawan dan wisudawati dari program diploma keperawatan
dan sarjana keperawatan dibuat tidak nyenyak tidur dan kurang nafsu
makan. Setiap hari hanya memikirkan uji kompetensi, cara
agar lulus uji
kompetensi dan sekaligus menaklukkan uji kompetensi. Padahal selepas itu
mereka juga mesti bertarung untuk merebut peluang pekerjaan yang sesuai
dengan pendidikan mereka.
Pemerintah melalui Kemenkes RI telah membentuk Majelis Tenaga Kesehatan
(MTKI) yang bertugas untuk melaksanakan uji kompetensi secara nasional
tersebut. Saat ini, tugas MTKI hanya memperbaharui registrasi para
perawat
lama dan 23 tenaga
kesehatan lain yang lain, kecuali dokter, dokter gigi dan apoteker. Baru
perawat yang akan menjalani uji kompetensi yang direncanakan akan
diselenggarakan pada akhir 2013 ini.
Dasar Hukum Uji Kompetensi
Pada awalnya Kemenkes RI untuk tujuan meregistrasi para perawat hanya
mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 1239 tahun 2001
tentang Registrasi dan Praktik Perawat. Kepmenkes ini hanya mengatur
tentang tata cara registrasi dan praktik perawat untuk mendapatkan Surat
Izin Perawat
(
SIP) dan Surat Izin Praktik Perawat (SIPP). Tanpa melalui ujian
kompetensi. Kepmenkes RI hanya melakukan pendaftaran terhadap lulusan
baru dan perawat lama yang telah bekerja di pusat pelayanan kesehatan.
Namun, seiring direvisinya Undang-Undang Kesehatan (UU Kesehatan), dimana UU Kesehatan No. 23 tahun 1992
dinyatakan tidak berlaku lagi dan kemudian digantikan oleh UU Kesehatan
No. 36 tahun 2009. Pemerintah berasumsi bahwa ujian kompetensi perlu
segera diadakan. Argumentasi yang disampaikan adalah bahwa ujian
kompetensi bagi perawat senafas dengan pasal 23 ayat [5] Undang-Undang
No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan [
Download],
yang menyatakan bahwa peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh tenaga kesehatan, dan dalam rangka pemberian izin, perlu
mengatur tentang registrasi tenaga kesehatan.
Kemudian, menindaklanjuti UU Kesehatan tersebut, Kemenkes RI lalu
merevisi Kepmenkes No. 1239 tahun 2001 dan kemudian menelurkan Peraturan
Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 161/MENKES/PER/I/2010 yang mengatur
tentang Registrasi Tenaga Kesehatan. Permenkes ini tidak bertahan lama
dan mengalami revisi kembali pada tahun berikutnya menjadi Peraturan
Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 1796/MENKES/PER/VIII/2011 tentang
Registrasi Tenaga Kesehatan [
Download].
Permenkes inilah yang pada akhirnya dijadikan sebagai dasar hukum bagi
pelaksanaan ujian kompetensi yang diselenggarakan oleh MTKI. Adapun
organisasi profesi – dalam hal ini – Persatuan Perawat Nasional
Indonesia (PPNI) diberikan 3 kursi oleh MTKI untuk mewakili para perawat
Indonesia dalam lembaga uji kompetensi ini. Sementara itu lembaga
pendidikan keperawatan hanya dijadikan sebagai fasilitator dari
pelaksanaan uji kompetensi untuk para lulusan masing-masing.
Output yang ditargetkan dari
ujian kompetensi ini adalah terhasilnya perawat yang kompeten, ditandai
dengan Surat Tanda Registrasi
(STR) untuk menjalankan praktik keperawatan di berbagai sarana
pelayanan kesehatan. Sedangkan para perawat yang hendak menjalankan
praktik keperawatan mandiri, SIPP tetap dikeluarkan dengan pra-syarat
memiliki STR terlebih dahulu.
Pro dan Kontra Uji Kompetensi
Rencana pemerintah untuk menggelar uji kompetensi ini masih mengundang
pro dan kontra. Di satu sisi, adanya perwakilan PPNI dalam MTKI
menunjukkan bahwa organisasi profesi relatif mengadopsi kebijakan
tersebut. Namun, beberapa kalangan perawat Indonesia justru menolaknya.
Sebut saja Ikatan Lembaga Mahasiswa Kesehatan Indonesia (ILMIKI) dan
berbagai elemen mahasiswa keperawatan lain dengan tegas menolak
kehadiran ujian kompetensi ini. Aktivis perawat yang telah bekerja
diberbagai sarana pelayanan kesehatan pun ada yang bersuara
serupa. Alasan yang dikemukakan oleh penolak kehadiran ujian kompetensi
ini adalah bahwasanya dasar hukum terhadap pelaksanaan ujian kompetensi
ini lemah. Kemenkes RI hanya bersandarkan kepada Permenkes untuk
menyelenggarakan ujian kompetensi yang dianggap “sakral” dikalangan
perawat ini.
Selain itu, carut-marutnya managemen MTKI dalam mengurus registrasi
tenaga kesehatan di Indonesia saat ini, ditengarai sebagai alasan lain
penolakan elemen mahasiswa keperawatan dan aktivis perawat ini. MTKI
yang saat ini ditugasi oleh Kemenkes RI hanya untuk meregistrasi 24
tenaga kesehatan yang ada di Indonesia, selain dokter, dokter gigi dan apoteker, tidak menunjukkan kinerja yang menggembirakan.
STR yang saat ini sedang diproses oleh MTKI berjalan dengan sangat
lambat. Bahkan banyak diberitakan bahwa dokumen yang telah dikirimkan PPNI
dari seluruh Indonesia dinyatakan tidak sampai, rusak bahkan hilang.
Akibatnya para tenaga kesehatan yang sedang memproses STR tersebut harus
mengirim ulang dokumen yang sama. Akibatnya fatal karena akhirnya
registrasi berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Dan,
kondisi ini yang sedang terjadi di MTKI saat ini sudah memasuki tahun
ke-3 dan belum menunjukkan adanya perbaikan.
Civitas perawat Indonesia yang menolak ujian kompetensi ini menginginkan
agar ujian kompetensi ini dilakukan oleh konsil keperawatan yang
didasarkan oleh Undang-Undang Keperawatan yang saat ini sedang digodok
oleh parlemen. Selain memiliki dasar hukum yang kuat, proses ujian
kompetensi yang dilakukan oleh konsil keperawatan tersebut akan terjamin
independensinya
. Tidak seperti yang dikhawatirkan selama ini bahwa
tujuan
uji kompetensi hanya untuk melanggengkan hegemoni Kemenkes RI terhadap
profesi perawat di Indonesia tetap kekal. Bukan untuk kemaslahatan para
perawat Indonesia.
Dilain pihak, saat ini Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia (AIPNI) maupun Asosiasi Institusi Pendidikan Diploma
Indonesia (AIPDI) belum menyuarakan secara terang sikap mereka terkait
ujian kompetensi ini. Institusi ini tampak menunggu proses pembahasan UU
Keperawatan di parlemen rampung, baru bersikap. Tetapi telah menggelar
berbagai try out untuk mempersiapkan para lulusannya agar bisa mengatasi
uji kompetensi ini.
Namun demikian, tampaknya MTKI sebagai kepanjangan tangan dari
Kemenkes RI sudah bertekad bulat untuk tetap menggelar uji kompetensi
bagi pada akhir tahun 2013 ini secara nasional. Meskipun pro dan kontra
akan terus berlangsung dan akan terus menyertai pelaksanaan uji
kompetensi tersebut.